Tahukah Anda : Sejarah Halal bi Halal

Libur hari ke-2 Idul Fitri 1438 H
Tepatnya kalender Masehi menunjukkan hari Senin, 26 Juni 2017
Mengingatkan saya bahwa Halal bi Halal yang identik dengan Lebaran,
adalah produk Indonesia.
Satu tradisi yang turun temurun dilaksanakan oleh anak bangsa ini,
lepas dari mereka mengerti atau tidak bagaimana budaya ini lahir.
Bahkan mungkin ada yang berpikir bahwa Halal bi Halal dituntunkan dalam ajaran agama Islam.

Seperti biasa saya membaca berbagai sumber,
dan mencoba menuliskannya kembali.
Meskipun tujuan utama saya adalah untuk catatan pribadi,
namun bisa jadi tulisan ini ada manfaat untuk orang lain.

Sumber : tuntunansholat.info

Saya kutip dari NU Online bahwa ...

Tradisi ini sudah ada sejak jaman KGPAA Mangkunegara I atau yang dikenal dengan Pangeran Sambernyawa. 
Setelah Idul Fitri, beliau menyelenggarakan pertemuan antara Raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana.

Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. 
Kemudian budaya seperti ini ditiru oleh masyarakat luas termasuk organisasi keagamaan dan instansi pemerintah.akan tetapi itu baru kegiatannya bukan nama dari kegiatannya. kegiatan seperti dilakukan Pangeran Sambernyawa belum menyebutkan istilah Halal bi Halal, meskipun esensinya sudah ada.

Penggagas istilah Halal bi Halal ini adalah KH Abdul Wahab Chasbullah. 
Menurut artikel tersebut, setelah Indonesia merdeka 1945, pada tahun 1948, Indonesia dilanda gejala disintegrasi bangsa. 
Para elit politik saling bertengkar, tidak mau duduk dalam satu forum. 
Sementara pemberontakan terjadi dimana-mana, diantaranya DI/TII dan PKI Madiun.
Pada tahun 1948, pertengahan bulan Ramadhan, Bung Karno memanggil KH Wahab Chasbullah ke Istana Negara, untuk dimintai pendapat dan sarannya untuk mengatasi situasi politik Indonesia yang tidak sehat. Kemudian Kiai Wahab memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan Silaturrahim, sebab sebentar lagi Hari Raya Idul Fitri, dimana seluruh umat Islam disunahkan bersilaturrahmi.

Lalu Bung Karno menjawab, "Silaturrahmi kan biasa, saya ingin istilah yang lain".
"Itu gampang", kata Kiai Wahab. 
"Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. 
Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. 
Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. 
Sehingga silaturrahmi nanti kita pakai istilah Halal bi Halal, jelas Kiai Wahab.

Dari saran Kiai Wahab itulah, kemudian Bung Karno pada Hari Raya Idul Fitri saat itu, mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturrahmi yang diberi judul Halal bi Halal dan akhirnya mereka bisa duduk dalam satu meja, sebagai babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa.

Sejak saat itulah, instansi-instansi pemerintah yang merupakan orang-orang Bung Karno menyelenggarakan Halal bi Halal yang kemudian diikuti juga oleh warga masyarakat secara luas, terutama masyarakat muslim di Jawa sebagai pengikut para ulama. 
Jadi Bung Karno bergerak lewat instansi pemerintah, sementara Kiai Wahab menggerakkan warga dari bawah. 
Jadilah Halal bi Halal sebagai kegaitan rutin dan budaya Indonesia saat Hari Raya Idul Fitri seperti sekarang.

Sumber lain dari risalahislam.com menyebutkan :
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan Halal bi Halal sebagai “acara maaf-memaafkan pada hari Lebaran”.

Menurut pakar tafsir, Prof Dr Quraish Shihab, Halal bi Halal merupakan kata majemuk yang terdiri atas pengulangan kata bahasa Arab halal diapit satu kata penghubung ba (baca, bi) (Shihab, 1992).

Dikatakan, meski dari bahasa Arab, yakinlah, orang Arab sendiri tidak akan mengerti makna sebenarnya Halal bi Halal karena istilah tersebut bukan dari Al-Quran, Hadits, ataupun orang Arab,
tetapi ungkapan khas dan kreativitas bangsa Indonesia. 

Istilah Halal bi Halal yang dicetuskan oleh Kiai Wahab ini didasarkan pada dua analisis.
Analisis pertama, yaitu thalabu halâl bi tharîqin halâl yang artinya mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan. 
Sementara analisis kedua yaitu halâl "yujza'u" bi halâl yang artinya pembebasan kesalahan dibalas pula dengan pembebasan kesalahan dengan cara saling memaafkan.

Semoga bermanfaat ...

Yk - Jun 26, 2017





Share this

Related Posts

Previous
Next Post »
Give us your opinion